HABIB HADI BIN ABDULLAH BIN UMAR AL HADDAR (BANYUWANGI-JAWA TIMUR)
WAKTU ibumu melahirkan engkau, engkau menangis menjerit-jerit. Sedangkan orang di kanan kirimu, tertawa kegirangan. Usahakanlah di waktu matimu, engkau tersenyum simpul. Dan orang di kanan kirimu menangis meratap-ratap.
(Detik-detik kematiannya). Pagi hari itu, sebagaimana biasanya, Habib Hadi masih menerima dan menjamu tamunya. Tiba-tiba beliau berkata pada tamunya, “Coba lihat di luar ada orang memberi salam.” Setelah dilihat di luar, ternyata tidak ada siapa-siapa. Hal ini terjadi sampai tiga kali berturut-turut. Habib Hadi berkata lagi, “Maaf saya sekarang ada urusan yang sangat penting.” Tamunya pun pulang, Habib Hadi masuk kedalam menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu kemudian shalat sunnah Dhuha. Berdzikir, berdo’a, beliau merebahkan diri, dengan terlentang dan meletakkan kedua tangannya, seperti orang shalat.
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Habib Hadi wafat dalam keadaan tersenyum dan menebarkan aroma harum. Orang beriman kalau mati ibarat malam pengantin, penuh dengan kesenangan dan keindahan (Habib Hadi). Ribuan pelayat mengantarkan kepergian¬nya sambil menangis, sedang beliau sendiri tersenyum.
***
Habib Hadi adalah putra Habib Abdullah bin Umar Al-Haddar, lahir pada tahun 1910 M. Sejak masih anak-anak beliau dikirim oleh orang tuanya ke negeri Yaman untuk menuntut ilmu agama. Selama tinggal di Yaman, ketika bulan Ramadhan tiba, selalu melaksanakan tarawih semalam suntuk, dari masjid satu lalu ke masjid yang lain hingga Shubuh.
Sejak usia 11 tahun, Habib Hadi sudah berpakaian gamis (jubah) dan surban, juga selalu terselip siwak di atas surbannya. Beliau memakai siwak setiap akan menunaikan shalat.
Kesenangannya dalam beribadah (shalat), dzikirullah, menghadiri majlis ta’lim, melantunkan qasidah dengan suaranya yang sangat merdu dan menyentuh kalbu adalah hiburan Habib Hadi semasa hidupnya.
Habib Hadi adalah peletak batu pertama pembangunan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi. Saat shalat Jum’at di Masjid Agung Baiturrahman, beliau selalu datang pertama dan pulang terakhir. Di zaman penjajahan, menjelang shalat Jum’at, masjid di bom oleh Jepang, semua lari mencari perlindungan untuk menyelamatkan diri. Habib Hadi dengan penuh ketena¬ngan maju ke atas mimbar, menggantikan khatib dan imam yang sudah tidak ada. Hingga shalat Jum’at dapat berlangsung dengan sempurna, walau dalam dentuman bom.
Dalam perjalanan hidupnya, Habib Hadi juga pernah menderita sakit ginjal yang cukup parah, hingga tidak bisa buang air kecil. Namun beliau tidak pernah mengeluh malah mengatakan, “Alhamdulillah, tadi malam tidak bisa tidur karena sakit saya gunakan untuk ibadah.” Ketika menjalani operasi yang tergolong besar, karena batu yang dikeluarkan berjumlah sampai 73 batu. Habib Hadi menjalaninya dengan penuh ketabahan, walau tanpa dibius. “Saya tidak mau hubungan dengan Allah SWT sampai terputus,” katanya. Operasi terus berjalan, dan tasbih selalu di tangan, dzikirullah terus mengiringi operasi sampai selesai.
Habib Hadi adalah sosok pribadi yang mencoba menela¬dani dan meniru cara dan tingkah Rasulullah SAW dalam segala bidang kehidupannya. Dalam berdagang, Habib Hadi dikenal al-amin, mengatakan terus terang apa adanya tentang barang dan harganya. “Ini belinya sekian, saya akan jual sekian, uangnya boleh dihutang, dan bayar setelah punya uang.” Beliau juga tahu (kasaf) bila orang tersebut sudah punya uang, saat itulah Habib Hadi menyuruh orang untuk menagihnya.
Menjelang dua bulan sebelum hari wafatnya, apabila disebut nama Nabi Muhamamd SAW, beliau menangis sampai goncang seluruh tubuhnya. Ada yang bertanya pada beliau, “Kenapa kalau disebut nama Nabi Muhammad SAW, sampai seperti itu, tidak seperti biasanya.”
Habib Hadi menjawab, “Hampir setiap malam saya mimpi Rasulullah SAW, namun belakangan Rasulullah SAW tidak pernah datang, apa salah saya, apa dosa saya, atau mungkin umur saya sudah dekat?”
Benar, dua bulan kemudian, pada hari Kamis, 23 Pebruari 1973/4 Muharram, Habib Hadi wafat di usia 63 tahun. Waliyullah yang memiliki ilmu yang luas, berkepribadian tinggi, dan selalu rendah diri, tawadu’ pada semua orang itu telah meninggalkan kita semua dengan tersenyum. ©
(HABIB. M. Mahdi Hasan AL HADDAR)
0 komentar:
Posting Komentar