This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
HABIB UMAR BIN HAFIDZ
Al-Habib Qasim bin Husain al-Atthas (khadim Guru Mulia ketika di Darul Musthafa), menceritakan kejadian yang beliau dengar langsung dari lisan al-Habib Muhammad bin Umar bin Hafidz (putera Guru Mulia).
Satu waktu, kurang lebih sebulanan yang lalu, murid al-Habib Umar bin Hafidz di Bruthonia Inggris membuat acara semacam seminar dalam satu gedung berkapasitas 3.000 peserta yang kesemuanya dari kalangan profesor, doctor dan kalangan terpelajar namun kesemuanya beragama non muslim.
Seperti biasa sebelum berceramah Guru Mulia terlebih dahulu membaca Ratib al-Atthas, Maulid adh-Dhiyaul Lami’ yang telah ada terjemahan bahasa Inggrisnya. Di saat mahallul qiyam (berdiri di tengah pembacaan maulid Nabi Saw.), semua ikut berdiri dan hampir semua peserta menangis.
Selesai pembecaan maulid Nabi Saw., Guru Mulia al-Habib Umr bin Hafidz pun memberikan ceramah. Akhirnya ceramah usai dan Guru Mulia keluar dari gedung hendak menuju ke mobil.
Sesampainya di mobil, ternyata murid al-Habib Umar dari pihak crew event tersebut meminta beliau untuk masuk kembali karena katanya jamaah di dalam gedung masih belum puas mendengar ceramah Guru Mulia. Akhirnya Guru Mulia balik lagi ke gedung tersebut.
Setelah beliau naik panggung, beliau bertanya ke seluruh peserta seminar: “Kenapa kalian memanggilku kembali?”
Jawab peserta: “Kami ingin masuk Islam, mengucapkan syahadat melaluimu.”
Subhanallah, tidak kurang dari 2.900 peserta masuk Islam.
MANAQIB AL-IMAM AL-HABIB MUHAMMAD BIN ABDULLAH AL-HADDAR (1340 H/1921 M - 1418 H/1997 M)
Meskipun beliau termasuk orang alim ‘allamah dan masyhur sebagai wali Allah, mungkin belum banyak yang tahu tentang jejak-rekam riwayat hidup beliau. Namun jika disebut nama al-Habib Umar bin Hafidz, mayoritas Muslimin dunia mengetahuinya. Padahal keduanya merupakan ulama yang memiliki hubungan erat satu sama lainnya, hubungan antara guru dan murid serta antara mertua dan menantu.
Daftar Isi:
a. Nasab Al-Habib Muhammad Al-Haddar
b. Kelahiran Al-Habib Muhammad Al-Haddar
c. Guru-guru dan Kegigihan Belajar Al-Habib Muhammad Al-Haddar
d. Perjuangan Dakwah Al-Habib Muhammad Al-Haddar
e. Karya-karya Al-Habib Muhammad Al-Haddar
f. Akhir Hayat Al-Habib Muhammad Al-Haddar
a. Nasab Al-Habib Muhammad Al-Haddar
Nasab lengkap beliau adalah al-Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar bin Syaikh bin Muhsin bin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Shaleh bin Ahmad bin Syaikh Abubakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali Shahib ad-Dark bin Alwi al-Ghuyur bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Marbat bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad Shahib ash-Shauma’ah bin Alwi bin Ubaidillah bin al-Muhajir Ilallah Ahmad bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin al-Imam Husain bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw. suami Sayyidah Fathimah az-Zahra binti Rasulullah Saw.
b. Kelahiran Al-Habib Muhammad Al-Haddar
Al-Habib Muhammad al-Haddar lahir di desa ‘Azzah, dekat Kota al-Baidha’ di utara Yaman, pada tahun 1340 H/1921 M. Ayah beliau adalah al-Habib Abdullah dan ibu beliau adalah Hababah Nur binti Abdullah Ba Sahi, seorang wanita shalihah yang dikenal karena amal dan ibadahnya. Ibunya sangatlah pemurah hingga sering membantu orang-orang yang kelaparan, terutama pada saat bencana kelaparan di Yaman selama Perang Dunia Kedua.
Pada masa kecilnya, al-Habib Muhammad al-Haddar belajar al-Quran dan ilmu-ilmu dasar agama dari ayahandanya sendiri dan para ulama Baidha’. Di salah satu malam terakhir bulan Ramadhan sewaktu dirinya berada di masjid disaksikan cahaya yang cemerlang, malam Lailatul Qadar. Merupakan hal yang sangat utama dan mulia tatkala seorang hamba diberikan anugerah oleh Allah Swt. dapat menyaksikan malam yang satu malamnya lebih baik daripada seribu bulan.
c. Guru-guru dan Kegigihan Belajar Al-Habib Muhammad Al-Haddar
Semangat dan hausnya dalam mencari ilmu mendorongnya untuk melakukan perjalanan ke Tarim pada usia 17 tahun. Setelah melakukan perjalanan dengan perahu layar dari ‘Adn ke al-Mukalla, dengan terpaksa beliau harus menghentikan langkahnya. Karena masa itu di tempat yang akan dituju beliau sedang terjadi pertikaian politik, dihimbau untuk kembali ke rumah.
Namun dengan semangatnya yang tinggi, beliau pun tidak patah arang untuk tetap melanjutkan pengembaraannya. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan melalui darat. Ayahnya turut serta menemaninya dalam perjalanan.
Ketika tiba saatnya bagi mereka untuk berpisah, sang ayah pun menghadap ke kiblat dengan linangan air mata dan berkata: “Ya Allah, orang yang mengirimkan anak-anak mereka ke Amerika dan tempat-tempat lain demi mendapatkan uang. Dan saya mengirimnya untuk belajar sampai ia mendapat kefutuhan dan menjadi seorang ulama, yang bertindak sesuai dengan pengetahuan mereka.”
Meski dalam perjalanannya menghadapi kepayahan dan kelaparan yang membuat dirinya hampir mati kehausan di jalan pegunungan antara Seiwun dan Tarim, akhirnya tibalah ia di Tarim dengan selamat. Langsung saja beliau menuju ke ribath terkenal dan bertemu dengan seorang guru utamanya, al-Habib Abdullah bin Umar asy-Syathiri.
Al-Habib Muhammad al-Haddar menghabiskan 4 tahun untuk belajar di Rubath Tarim dengan usaha yang sangat gigih. Kegigihan itu tergambarkan setiap sebelum dimulainya pelajaran beliau selalu mempersiapkan pelajaran-pelajaran itu dengan membacanya setidaknya hingga delapan belas kali. Dan sehari-harinya beliau hanya tidur sekitar dua jam, satu jam di siang hari dan satu jam di malam harinya. Sehingga menjadikan al-Habib Abdullah asy-Syathiri, sang guru, mengakui kemampuannya dan memberinya perhatian khusus serta tanggung jawab penuh.
Selain kepada ayahandanya sendiri dan kepada pengasuh Rubath asy-Syathiri, beliau juga telah belajar dengan para ulama yang masyhur pada zamannya. Diantaranya adalah:
1. Al-Habib Alwi bin Abdullah Shihabuddin.
2. Al-Habib Ja’far bin Ahmad Alaydrus.
3. Asy-Syaikh Mahfudz bin Salim az-Zubaidi.
4. Dan masih banyak lainnya.
d. Perjuangan Dakwah Al-Habib Muhammad Al-Haddar
Setelah gurunya, al-Habib Abdullah bin Umar asy-Syathiri, wafat tahun 1361 H/1941 M maka al-Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar kembali ke kampung halaman. Hatinya penuh dengan keinginan untuk menyebarkan pengetahuan dan membatu orang-orang menuju ke jalan Allah Swt.
Pada tahun 1362 H/1942 M, beliau mendirikan sebuah madrasah di tempat kelahirannya di ‘Azzah. Beliau juga termasuk berjasa dalam penyelesaian konflik antar suku pada waktu itu.
Beliau melakukan perjalanan dengan berjalan kaki untuk melakukan haji pada tahun 1365 H/1945 M. Sekembalinya dari berhaji, beliau menghabiskan beberapa waktu di Ta’izz untuk belajar kepada al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya.
Pada tahun 1375 H/1955 M, beliau melakukan haji untuk yang kedua kalinya. Dan setelahnya beliau selalu menyempatkan diri untuk berhaji tiap tahunnya. Disamping berhaji, tak lupa beliau mengambil ilmu dari para ulama Hijaz. Diantaranya beliau belajar kepada al-Muhaddits as-Sayyid Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani.
Pada tahun 1370 H/1950 M, beliau melakukan perjalanan ke Somalia dan menjadi imam Masjid Mirwas di Mogadishu. Akhirnya beliau menetap di sana selama satu tahun setengah. Selain itu, kesibukan beliau di sana adalah istiqamah mengajar dan mengawasi pembentukan ribath (pesantren) di Kota Bidua. Di sinilah beliau bertemu seorang guru besar bernama al-Habib Ahmad Masyhur bin Thoha al-Haddad.
Al-Habib Muhammad al-Haddar sudah lama ingin mendirikan ribath di Kota al-Baidha. Beliau mencari dukungan keuangan di ‘Adn dan Ethiopia. Usahanya nampak berhasil dengan selesainya konstruksi awal pada tahun 1380 H/1960 M. Beliau meminta agar al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafiz (ayah dari al-Habib Umar bin Hafidz) mengirim seseorang dari Tarim. Pada saat itu al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith adalah orang yang dipilih al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz untuk menjadi guru di ribath dan menetap di al-Baidha sekitar 20 tahun.
Pada tahun 1402 H/1981 M, al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz meninggalkan Hadhramaut yang saat itu sedang bergejolak perang saudara, dan datang ke al-Baidha. Beliau menghabiskan 10 tahun untuk belajar kepada al-Habib Muhammad al-Haddar. Akhirnya al-Habib Umar bin Hafidz pun bukan hanya menjadi murid gurunya itu, melainkan juga sebagai menantu dengan menikahi putri sang guru. Di ribathnya al-Habib Umar bin Hafidz juga diminta untuk mengajar.
Al-Habib Muhammad al-Haddar salalu setia dalam oposisinya terhadap pemerintah sosialis yang berkuasa di Yaman Selatan tahun 1387 H/1967 M. Hal ini menyebabkan beliau dipenjara di al-Mukalla dalam kunjungannya ke Hadhramaut pada tahun 1390 H/1970 M). Di dalam penjara beliau tak pernah putus dalam mengajar hingga para narapidanalah yang menjadi sebagai muridnya.
Hingga pada akhirnya beliau dibebaskan melalui perantara dari al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah dan al-Habib Ja’far Alaydrus. Kemudian beliau pun kembali ke al-Baidha setelah berterimakasih kepada mereka atas usahanya dan telah memperingatkan para ulama Tarim dan Seiwun dari bahaya yang tersisa di Hadhramaut.
Pada tahun 1395 H/1974 M, beliau pergi ke Kepulauan Comoros untuk mengunjungi seorang ulama besar di sana, al-Habib Umar bin Ahmad bin Smith. Setelah itu beliau menuju Kenya untuk mengunjungi gurunya, al-Habib Ahmad Masyhur al-Haddad.
Hubungannya sangat dekat dan erat dengan ulama besar Jeddah, al-Habib Abdul Qadir Assegaf. Mereka berdua pernah bepergian bersama ke Irak dan Suriah pada tahun 1396 H/1975 M. Al-Habib Abdul Qadir juga sudah dua kali mengunjungi al-Baidha dan ribath yang didirikan oleh al-Habib Muhammad al-Haddar.
Al-Habib Muhammad al-Haddar termasuk salah satu ulama yang mengapresiasi dan sangat menghormati gerakan Jama’ah Tabligh (JT). Terbukti di tahun 1402 H/1981 M, beliau menuju ke Pakistan, Bangladesh, Thailand dan Malaysia untuk mengunjungi para ulama gerakan itu dan menghadiri pertemuan mereka.
e. Karya-karya Al-Habib Muhammad Al-Haddar
Diantara kitab yang beliau ajarkan adalah Shahih al-Bukhari, Ihya ‘Ulumiddin, asy-Syifa’ DAN Minhaj ath-Thalibin karya Imam an-Nawawi. Beliau juga telah mengumpulkan sejumlah koleksi dari adzkar (wiridan-wiridan) untuk dibaca pada siang hari dan malam hari yang terkumpul dalam kitabnya yang berjudul al-Fawaid al-Itsna ‘Asyar dan Nasyi-at al-Lail. Dan wiridan yang dibaca saat dalam perjalanan dikumpulkannya dalam kitab Jawahir al-Jawahir. Wiridan-wiridan itu hingga kini masih banyak dibaca di Darul Musthafa, ribath yang didirikan oleh sang menantu.
Beliau juga menyusun koleksi adzkar dan doa-doa untuk Ramadhan yang dikumpulkannya dalam kitab an-Nafahat ar-Ramadhaniyyah. Dan juga wirid-wirid dan doa untuk haji dalam kitab Miftah al-Haji.
Beliau pun menulis sebuah risalah tentang pencapaian akhlak mulia dalam kitabnya yang berjudul al-‘Ajalat Sibaq. Risalah lain yang ditulisnya adalah tentang kinerja haji berjudul Risalat al-Hajj al-Mabrur dan risalah kompilasi pilihan hadits berjudul asy-Syifa Saqim.
f. Akhir Hayat Al-Habib Muhammad Al-Haddar
Sakit bisa datang kepada siapa saja dari hamba Allah, termasuk al-Habib Muhammad al-Haddar. Sebelum kewafatannya pun beliau menderita sakit. Hingga menjelang akhir hidupnya beliau masih sempat pindah ke Mekkah.
Kata-kata terakhir yang sering beliau lafadzkan setiap hari pada masa akhir hidupnya adalah:
لا إِلَهَ إِلاّ الله أَفْنِي بِها عُمْري
لا إِلَهَ إِلاّ الله أَدْخُل بِها قَبْري
لا إِلَهَ إِلاّ الله أَخْلو بِها وَحْدي
لا إِلَهَ إِلاّ الله أَلْقى بِها رَبِّي
“La Ilaha Illallah, dengan itu aku mengakhiri hidupku.
La Ilaha Illallah, dengan itu aku masuk ke dalam kuburku.
La Ilaha Illallah, dengan itu aku memisahkan diriku.
La Ilaha Illallah, dengan itu aku bertemu Tuhanku.”
Hingga akhirnya beliau tersungkur bersujud dan ruhnya meninggalkan tubuhnya. Beliau pun wafat meninggalkan dunia yang fana ini pada tanggal 08 Rabi’ul Akhir tahun 1418 H/1997 M. Jenazahnya dimakamkan di dekat makam ibundanya.
SEJARAH SHOLAWAT BADAR
Sholawat ini adalah sholawat yang banyak sekali faedahnya, menjadi sumber kekuatan dan pertolongan dan wasilah kepada Rasulullah SAW. Tetapi tak banyak yang tahu bahwa sholawat ini diilhamkan kepada seorang Kyai asli Indonesia dari NU, yakni Kyai Ali Mansur, yang semasa hidupnya menjabat sebagai pengurus NU Banyuwangi, Jatim.
Saat itu sekitar tahun 1960-an. Kyai Mansur gelisah karena memikirkan pergolakan politik yang makin kacau; orang-orang PKI makin kuat di daerah pedesaan, sedangkan warga NU terdesak. Pada suatu malam beliau bermimpi didatangi sekelompok Habaib berpakaian putih-hijau, dan pada saat yang sama istrinya bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW.
Beliau menanyakan mimpi ini kepada seorang Habib ahli kasyaf, Habib Hadi al-Haddar Banyuwangi. Oleh Habib dijawab bahwa itu adalah para pahlawan perang Badar.
Dua mimpi istimewa suami-istri ini menjadikan dirinya memperoleh ilham untuk menulis syair dan sholawat. Yang lebih aneh, esok harinya tetangga berdatangan membawa banyak bahan makanan, seolah-olah akan ada acara besar.
Para tetangga ini bercerita bahwa pagi-pagi buta rumah mereka diketuk oleh orang-orang berjubah putih yang memberi tahu bahwa Kyai Ali Mansur akan ada kegiatan besar. Kyai Ali Mansur bingung karena tak punya hajatan besar apapun; namun para tetangga bergotong royong memasak di dapur sampai malam, siap-siap menyambut kedatangan tamu esok pagi.
Pagi hari, Kyai Ali Mansur duduk di rumahnya sambil bertanya-tanya siapa tamunya.. Lalu menjelang matahari muncul datanglah serombongan habaib dipimpin oleh Habib Ali ibn Abdurrahman al-Habsyi dari Kwitang, Jakarta.
Setelah mereka berbincang, Habib Ali Kwitang bertanya kepada Kyai Mansur “mana syair yang ente buat kemarin? Mohon bacakan dan lagukan di depan kami semua.” Kyai Ali Mansur kaget karena Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya kemarin malam, padahal beliau belum bercerita kepada siapapun dan lagipula baru kali ini Habib Ali Kwitang datang jauh-jauh dari Jakarta ke Banyuwangi.
Kyai Ali Mansur kemudian membacakan syair itu sambil dilagukan. Dan memang Kyai yang satu ini suaranya sangat bagus. Para habaib mendengarkan, dan tak lama kemudian mereka menangis. Selesai dibaca, Habib Ali Kwitang berdiri dan berkata, “Ya Akhi, mari kita lawan Genjer-genjer PKI dengan Shalawat Badar!” Kemudian Kyai Ali Mansur diundang ke Kwitang untuk mempopulerkan Shalawat Badar di sana.
Karena itulah bacaan Sholawat Badar ini sering dipakai dalam istigotsah dan sering diamalkan para santri yang sedang menghadapi berbagai kesulitan.
Meski sebagian kalangan non-NU menganggap sholawat ini bid’ah, namun dalam kenyataannya, para Wali Allah tak menganggapnya bid’ah dan bahkan mengakui dan mengamalkannya, seperti dicontohkan oleh ulama besar Habib Ali Kwitang.
Mudah2an kita diberi kelapangan dan kemampuan oleh Allah untuk mengamalkannya, membebaskan segala duka cita kita lantaran berkah Rasul dan para pahlawan badar…
Ilahi sallimil ummah minal aafati wan niqmah…
wa min hamin wamin ghummah, bi ahlil badri yaa Allah….
HABIB HADI BIN ABDULLAH BIN UMAR AL HADDAR (BANYUWANGI-JAWA TIMUR)
WAKTU ibumu melahirkan engkau, engkau menangis menjerit-jerit. Sedangkan orang di kanan kirimu, tertawa kegirangan. Usahakanlah di waktu matimu, engkau tersenyum simpul. Dan orang di kanan kirimu menangis meratap-ratap.
(Detik-detik kematiannya). Pagi hari itu, sebagaimana biasanya, Habib Hadi masih menerima dan menjamu tamunya. Tiba-tiba beliau berkata pada tamunya, “Coba lihat di luar ada orang memberi salam.” Setelah dilihat di luar, ternyata tidak ada siapa-siapa. Hal ini terjadi sampai tiga kali berturut-turut. Habib Hadi berkata lagi, “Maaf saya sekarang ada urusan yang sangat penting.” Tamunya pun pulang, Habib Hadi masuk kedalam menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu kemudian shalat sunnah Dhuha. Berdzikir, berdo’a, beliau merebahkan diri, dengan terlentang dan meletakkan kedua tangannya, seperti orang shalat.
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Habib Hadi wafat dalam keadaan tersenyum dan menebarkan aroma harum. Orang beriman kalau mati ibarat malam pengantin, penuh dengan kesenangan dan keindahan (Habib Hadi). Ribuan pelayat mengantarkan kepergian¬nya sambil menangis, sedang beliau sendiri tersenyum.
***
Habib Hadi adalah putra Habib Abdullah bin Umar Al-Haddar, lahir pada tahun 1910 M. Sejak masih anak-anak beliau dikirim oleh orang tuanya ke negeri Yaman untuk menuntut ilmu agama. Selama tinggal di Yaman, ketika bulan Ramadhan tiba, selalu melaksanakan tarawih semalam suntuk, dari masjid satu lalu ke masjid yang lain hingga Shubuh.
Sejak usia 11 tahun, Habib Hadi sudah berpakaian gamis (jubah) dan surban, juga selalu terselip siwak di atas surbannya. Beliau memakai siwak setiap akan menunaikan shalat.
Kesenangannya dalam beribadah (shalat), dzikirullah, menghadiri majlis ta’lim, melantunkan qasidah dengan suaranya yang sangat merdu dan menyentuh kalbu adalah hiburan Habib Hadi semasa hidupnya.
Habib Hadi adalah peletak batu pertama pembangunan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi. Saat shalat Jum’at di Masjid Agung Baiturrahman, beliau selalu datang pertama dan pulang terakhir. Di zaman penjajahan, menjelang shalat Jum’at, masjid di bom oleh Jepang, semua lari mencari perlindungan untuk menyelamatkan diri. Habib Hadi dengan penuh ketena¬ngan maju ke atas mimbar, menggantikan khatib dan imam yang sudah tidak ada. Hingga shalat Jum’at dapat berlangsung dengan sempurna, walau dalam dentuman bom.
Dalam perjalanan hidupnya, Habib Hadi juga pernah menderita sakit ginjal yang cukup parah, hingga tidak bisa buang air kecil. Namun beliau tidak pernah mengeluh malah mengatakan, “Alhamdulillah, tadi malam tidak bisa tidur karena sakit saya gunakan untuk ibadah.” Ketika menjalani operasi yang tergolong besar, karena batu yang dikeluarkan berjumlah sampai 73 batu. Habib Hadi menjalaninya dengan penuh ketabahan, walau tanpa dibius. “Saya tidak mau hubungan dengan Allah SWT sampai terputus,” katanya. Operasi terus berjalan, dan tasbih selalu di tangan, dzikirullah terus mengiringi operasi sampai selesai.
Habib Hadi adalah sosok pribadi yang mencoba menela¬dani dan meniru cara dan tingkah Rasulullah SAW dalam segala bidang kehidupannya. Dalam berdagang, Habib Hadi dikenal al-amin, mengatakan terus terang apa adanya tentang barang dan harganya. “Ini belinya sekian, saya akan jual sekian, uangnya boleh dihutang, dan bayar setelah punya uang.” Beliau juga tahu (kasaf) bila orang tersebut sudah punya uang, saat itulah Habib Hadi menyuruh orang untuk menagihnya.
Menjelang dua bulan sebelum hari wafatnya, apabila disebut nama Nabi Muhamamd SAW, beliau menangis sampai goncang seluruh tubuhnya. Ada yang bertanya pada beliau, “Kenapa kalau disebut nama Nabi Muhammad SAW, sampai seperti itu, tidak seperti biasanya.”
Habib Hadi menjawab, “Hampir setiap malam saya mimpi Rasulullah SAW, namun belakangan Rasulullah SAW tidak pernah datang, apa salah saya, apa dosa saya, atau mungkin umur saya sudah dekat?”
Benar, dua bulan kemudian, pada hari Kamis, 23 Pebruari 1973/4 Muharram, Habib Hadi wafat di usia 63 tahun. Waliyullah yang memiliki ilmu yang luas, berkepribadian tinggi, dan selalu rendah diri, tawadu’ pada semua orang itu telah meninggalkan kita semua dengan tersenyum. ©
(HABIB. M. Mahdi Hasan AL HADDAR)
KH Saiful Islam al-Payage-Jalan Dakwah Anak Papua
Boleh jadi Payage merupakan satu-satunya anak pendeta dari Papua yang kembali ke tanah kelahirannya untuk menyampaikan ajaran Islam. Tak mudah meretas jalan dakwah di Tanah Papua.
Nama aslinya Elimus Payage. Pria kelahiran Papua, 4 April 1979, ini lahir dari keluarga pendeta terkemuka di Papua bernama Simon Payage. Lulus sekolah dasar ia menemukan jalan hidup yang telah digariskan untuknya menjadi seorang dai.
Perjalanan itu dimulai dari perkenalannya dengan seorang pengusaha Muslim di Papua bernama H Baharuddin. Saat itu Payage ingin sekolah di Jawa mengingat minimnya sarana dan fasilitas pendidikan di Papua. “Saya nanti ingin kembali ke Papua dengan membawa pengetahuan yang berguna untuk masyarakat,” ujarnya.
Tahun 1993 Payage dibawa H Baharuddin ke pesantren yang didirikan oleh KH As’ad Syamsul Arifin (alm) di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Situbondo, Jawa Timur. Di sana ia dipertemukan dengan putra KH As’ad Syamsul Arifin bernama KH Raden Ahmad Fawaid As’ad Syamsul Arifin.
Ternyata kedatangan Payage sudah ditunggu lama oleh pengasuh pesantren tersebut. Dari pembicaraan KH Fawaid dan H Baharuddin, Payage mendengar bahwa KH As’ad pernah berwasiat kepada putranya untuk mendidik anak dari Papua yang akan dijadikan juru dakwah di sana. “Anaknya asli Papua. Kalau sudah alim nanti akan dikirim kembali ke Papua untuk berdakwah di sana,” ujar Payage mengingat pembicaraan itu.
Sejak saat itu nama Payage diganti Saiful Islam dan diangkat menjadi anak asuh KH Fawaid As’ad Syamsul Arifin. Selama di pesantren Saiful diminta sungguh-sungguh belajar ilmu agama sementara biaya sekolah, kebutuhan sehari-sehari dan biaya lain-lain akan ditanggung oleh ayah angkatnya.
Di pesantren itu Saiful sangat giat belajar dan melahap berbagai ilmu pengetahuan mulai dari ilmu al-Qur’an, fikih, tarikh, akhlak dan ilmu tauhid. Ia juga mengenyam pendidikan formal mulai dari madrasah tsanawiyah sampai meraih gelar sarjana (S1) dari Institui Agama Islam Salafiyah Syafi’iyah, Situbondo, Jawa Timur tahun 2006. Tahun 2007 ia sempat dikirim ke Yaman untuk belajar di Pondok Pesantren Darul Musthofah Hadramaut Yaman.
Bakat dan kemampuan Payage di dunia dakwah semakin terasah dengan mengikuti muhadarah (ceramah) di pesantren. Tak heran ketika masih menjadi santri, Saiful sering mendampingi KH Fawaid berceramah ke beberapa daerah serta diminta menggantikannya jika berhalangan hadir.
Talenta dai muda ini semakin bersinar ketika mengikuti Kontes Dai di TPI dan menjadi salah satu peserta terbaik tahun 2005. Berbagai undangan ceramah sering diterimanya baik dari beberapa wilayah di Indonesia sampai ke Hongkong, Brunei Darussaalam, dan Malaysia. “Semua pengalaman luar biasa ini diberikan oleh Allah kepada saya,” ujarnya.
Namun demikian Saiful tetap tidak lupa dengan tugas yang diemban untuk berdakwah di kampung halamannya. Selama berdakwah ke daerah-daerah, Saiful sempat beberapa kali berdakwah di Papua untuk menyampaikan ajaran Islam.
Budaya masyarakat Papua tetap tidak berubah meskipun daerah tersebut telah lama ia tinggalkan. Masyarakat di sana masih makan daging babi, mempercayai kekuatan roh, memakai koteka, berjudi, perang antarsuku dan berbagai kemaksiatan lainnya.
Menurut Saiful, persoalan ini tidak bisa diselesaikan kecuali dengan jalan dakwah. Melalui dakwah itu ia mengenalkan budaya kebersihan, keindahan dan kemuliaan akhlak sesuai dengan ajaran Islam. Dakwah ini dilakukan dengan dua cara yaitu dakwah bil hal dengan mengenalkan mandi, bersuci, tayamum, memandikan mayit, dan menutup aurat. Cara kedua, melakukan safari dakwah ke daerah pedalaman seperti Babo, Bintuni, Kaimana, Wamena, Jayawijaya, Merauke dan daerah-daerah terpencil lain yang belum tersentuh Islam. Dakwah yang dilakukan secara berkelompok ini ditempuh dengan berjalan kali. Jika rombongan kehabisan perbekalan di tengah jalan, mereka hanya bertahan dengan makan daun-daunan serta minum air hutan. “Semua kita lakukan agar masyarakat Papua mengenal Islam dan mendapat manfaat yang besar,” ujar pria yang tengah merintis pesantren di Papua ini.
Kata Mutiara Hikmah Habib Munzir Bin Fuad Al Musawa
1.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: "Tiadalah kehidupan pasti menemui kematian, tiadalah perkumpulan pasti menemui perpisahan"
2.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: "Satu hembusan nafasmu , ialah selangkah menuju ajal"
3.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: "Beruntunglah dan tiada yang lebih beruntung kecuali para Pecinta Sayyidina Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam"
4.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: "Tiadalah yang lebih ditakuti Syaiton , para Jin, dan Iblis melebihi hati yang berdzikir. Ketika hati sedang ingat Allah , itulah yang paling ditakuti oleh Syaithon"
5.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: "Tak ada yang lebih cepat mendatangkan keridhoan Allah SWT. Melainkan bakti kepada Ayah dan Ibunda"
6.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: "Sunnguh tiada Hadiah yang lebih Agung dari doa"
7.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: "Ketahuilah bahwa peristiwa yang disebut (Kematian) justru itulah Hakikat kehidupan yang abadi"
8.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: "Ketahuilah bahwa cinta Allah , Allah titipkan kepada Sesosok Manusia yang bernama Sayyidina Muhammad Saw."
9.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: "Ketahuilah bahwa tuntunan terindah ialah tuntunan Nabi ku dan Nabi kita semua yaitu (Sayyidina Muhammad Saw)."
10.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: "Semakin tinggi kepahaman seseorang tentang Allah SWT , maka semakin tinggi derajatnya, semakin mulia sujudnya semakin mulia satu huruf yang keluar dari lidahnya didalam berdzikir, semakin termuliakan shalatnya , semakin termuliakan ibadahnya."
11.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: "Walaupun di Dunia tidak berjumpa dengan Rasulullah Saw, barangkali orang yang sangat rindu kepada Rasulullah sebelum ia ditanya oleh Malaikat, maka Rasulullah SAW akan berkata "dia ummatku, dia ummatku, dia ummatku", karena apa? karena Rasulullah telah merindukannya, Rasulullah SAW telah bersabda riwayat Sahih Muslim bahwa beliau SAW rindu dengan saduara-saudara beliau, yaitu mereka yang hidup setelah beliau wafat, tetapi mereka sangat ingin berjumpa dengan beliau Shalallahu 'Alaihi Wasallam, dan mencintai beliau lebih dari harta dan keluarganya."
12 .)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: "Bersyukur atas kenikmatan , Bersabar atas Musibah"
13.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: "perindahlah siang-siang hari kita pada bulan Ramadhan dengan puasa dan ibadah lainnya, serta hiasilah dan sempurnakan malam-malamnya dengan memperbanyak shalat tarawih dan membaca Al qur’an."
14.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: Do'a kita pun kepada Saudara/i kita adalah sedekah, sebagaimana yang disabdakan Oleh Sayyidina Muhammad Saw : "Semua yang baik adalah sedekah".
15.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: : "Getarkanlah bibirmu ketika menyebut nama Yang Maha Agung (Fukullu Jami'an Ya Allah...Ya Allah...Ya Allah)"
16.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berpesan : "Jadikanlah mulai saat ini Dzikir menjadi sebuah kebutuhan kita, sebagaimana kita membutuhkan makan."
17.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata : "Nabi shallallahu'alaihi wasallam bersabda riwayat shahih Muslim...
"tiada akan datang hari kiamat selama masih ada di muka bumi yang memanggil nama ALLAH, ALLAH" (Shahih Muslim)
18.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata : "Cinta Allah itu, Allah titipkan pada sesosok Makhluk yang bernama Sayyidina Muhammad Saw"
19.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: "Tiadalah yang lebih ditakuti Syaiton , para Jin, dan Iblis melebihi hati yang berdzikir. Ketika hati sedang ingat Allah , itulah yang paling ditakuti oleh Syaithon"
20.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata :"Kematian adalah guru terbaik dalam kehidupan, sedikit saja kita lalai dari mengingat kematian maka kita akan kehilangan guru terbaik dalam kehidupan…
Dia datang dengan tiba-tiba tanpa kenal permisi.. Apakah kita siap menyambut kedatangan sang malaikat maut ? adakah kita siap menyongsong malam pertama di alam kubur?….
21.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: "Semakin tinggi kepahaman seseorang tentang Allah SWT , maka semakin tinggi derajatnya, semakin mulia sujudnya semakin mulia satu huruf yang keluar dari lidahnya didalam berdzikir, semakin termuliakan shalatnya , semakin termuliakan ibadahnya."
22.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: "Kita bangkit dengan kelembutan , bukan dengan kekerasan."
23.)Al Habib Munzir berpesan agar selalu menjadikan sabar dan do'a sebagai senjata terdahsyat dalam kehidupan ku dan kalian.
24.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata : ''Bila semua yang dialam semesta ini membenciku , Demi ke Agungan-Mu asalkan Engkau tidak murka kepadaku, makaaku tidak perduli".
25.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: "Cinta Allah subhanahu wata’ala tersimpan pada sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga Allah subhanahu wata’ala akan mengampuni dosa-dosa hambaNya karena mengikuti kekasihNya sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sesuatu yang diperintah oleh Allah subhanahu wata’ala, sehingga memenuhi panggilan beliau merupakan hal yang wajib dalam keadaan apapun, sebagaimana diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari ketika seorang sahabat sedang melakukan shalat, di saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya, namun dia melanjutkan shalatnya kemudian setelah selesai ia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya : “Kemanakah engkau, aku memanggilmu namun kau tidak juga datang?”, maka ia menjawab : “Wahai Rasulullah tadi aku sedang melakukan shalat”, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah berfirman” : “ Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasulullah apabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian, dan ketahuilah sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan”.
( QS. Al Anfaal : 24 ) "
26.)Al Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: "Saudara/i ku bahwa Rasulullah Saw telah bersabda “ Sesungguhnya perbuatan (tergantung) dengan niatnya”
Semakin luhur niat seseorang dalam perbuatannya, maka akan semakin mulia anugerah yang akan didapatkannya dari Allah subhanahu wata’a, sebaliknya semakin buruk niat dalam perbuatannya maka akan semakin terjatuh dalam jurang kehinaan. Allah subhanahu wata’ala berfirman : “ Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”. ( QS. At Tiin : 4-6 )"
Teks qasidah Uktum Hawana karya Syaikh Abu Bakar bin Salim
يـَـا رَ بَّ مَـكَّــة َ وَ الــصَّـــفَـا بِـمُـحَــــمَّـدٍ
اِغْــفِـرْ لَـــنَـا يـَا سَــا مِــعًـا لِــدُعَـانَـا
Wahai Pemilik Makkah dan Bukit Shafa, demi Muhammad,
Ampuni dosa kami Wahai Yang Maha Mendengar do’a kami.
اُ كْـــتُمْ هَـــوَ انَ اِنْ أَرَ دْ تَ رِ ضَـــانَ
وَ احْــذَرْ تُـــبِـيْــحُ بــِسِرِّ نَـا لِـسِـوَ انَـا
Sembunyikanlah Kecintaan kepada kami apabila engkau menginginkan restu kami (para wali Allah),
Dan jagalah agar kau tak sesumbarkan apa-apa yang kau ketahui dari Kemuliaan kami.
وَ اخْــضَـعْ لَــنـَـا إِنْ كُـــنـْتَ رَ اجِــيَ وَ صْــلِــنـَـا
وَ اتْـرُ كْ مُـنــَـاكَ إِنْ أَرَ دْ تَ مُـنـَـانَـا
Tunduk dan panutlah kami apabila kau menginginkan bergabung dengan kami,
Dan tinggalkanlah cita-cita kosongmu apabila engkau menginginkan apa yang kami cita-citakan.
وَ اجْـــعَـلْ وُ قُــوْ فَــكَ مَــا بـَــقـِـــيْتَ بِــبَـابِــــنَـا
فَـــلَـــعَــلَّ اَنْ تـُحْــظَـى بـِـــنَـا وَ تَـرَ انَـا
Dan jadikanlah sisa usiamu kini untuk berada di pintu-pintu kami,
Maka semoga engkau akan mendapatkan anugerah dengan kedekatan kepada kami.
أَ وَ مـَــا عَـــلِــمْـتَ بِـأَ نَّـــنـَـا أَهْـــلُ الْـــوَ فَـــا
وَ مـُـحِــبــُّــــنَـا مَــا ذَ الَ تـَـحْــــتَ لِـــوَ انَــا
Apakah kalian tidak mengetahui, bahwa kami selalu bermurah hati,
Dan semua yang mencintai kami akan selalu di bawah panji kami.
فَـــإِ ذَا قَـــضَـيْتَ حُــقُــوْ قَـــنَـا يـَـا مُــدَّ عِــى
عَـــا يـَــنـْــتــَــــنَـا فِـى الْـكَــا ئــِــنـَـاتِ عِـيـَـانَـا
Apabila kalian jalankan permintaan kami ini, wahai yang menginginkan kemuliaan kami,
Maka kalian pasti melihat di semua alam akan keluhuran dan kebesaran kami dengan jelas.
نــَحْــنُ الْــكِـــرَ امُ فَـــمَــنْ أَتــَانَـا قَــاصِـــدً
نَــالَ الــسَّـــعَـادَ ةَ عِـنـْدَ مـَـا يـَــلْــقَــانَـا
Kami adalah kaum dermawan, maka barangsiapa yang datang kepada kami dengan suatu kebutuhan,
Maka ia akan mendapatkan keinginannya dan kebahagiaan ketika ia menemui kami.
فَــانْـــهَــضْ بـِــعَـذِ مِ لا َ تـَـكُــوْ نُ مُــقَـــصِّـرً ا
وَ انْــظُـرْ تـَـرَ ى الْـعُـــشَّـاقَ حَــوْلَ حِـمَـانَـا
Maka bangkitlah dengan penuh semangat, dan janganlah bermalas-malasan,
Lihatlah orang-orang yang mencintai dan merindukan kami, terayomi di dalam benteng-benteng kami.
مُـسْــتَــبْـشِـرِ يـْنَ بِـــنَــيْـلِ مَـا قَــدْ أَ مَّــلــُــوْا
فَــرِ حِــــيـْنَ مُـذْ نَــظَـرُ و ا الْـجَـــمَـالَ عِـــيَـانَـا
Mereka mendapat kebahagiaan dengan datangnya kabar gembira,
bahwa mereka diberi segala yang mereka dambakan,
Mereka dilimpahi kegembiraan sejak mereka memperdulikan keindahan yang sejelas-jelasnya (Muhammad SAW).
هَـامُــوْ ا بِــعِـشْــقَــتِــهِـمْ سُــــكَـارَ ى عِــنْـدَ مَــا
كُــشِـفَ الْـحِــجَــابَ وَ شَـاهَــدُوا مَـغْــنَـانَـا
Maka pusatkanlah perhatianmu bersama apa yang menyibukkan mereka,
dan dengan apa-apa yang mereka rindukan,
Ketahuilah bahwa mereka itu telah terbuka baginya hijab ma’rifah dan mereka telah menyaksikan kemuliaan kami.
فَـهُـــمُ الْــمُرَ ادُ وَ لاَ يــُرَ ادُ سِـــــوَ ا هُـمُ
فَــالْـــقَــلْــبُ مُـشْـــتَـغِـلٌ بـِـــهِمْ وَ لْــهَــانَـا
Maka mereka adalah yang paling pantas untuk dituju, dan tiada lagi yang pantas dituju selain mereka,
Dan hati yang sibuk dengan selain urusan mereka, adalah hati yang pasti terpenuhi kebingungan.
كَرِّ رْ لـِـسَــمْـعِـى ذِ كْـرَ ا هُمْ وَ حَــدِ يــْـثَــهُمْ
تـَــعْـمَـلُ مَــعِـى بِــحَـــيـَـا تِـــهِـمْ إِحْـسَـــانَـا
Maka ulang-ulanglah untuk selalu memenuhi pendengaranmu dengan mereka dan perkataan mereka,
Dan sibuklah dengan beramal baik bersama-sama dalam kehidupan mereka.
يـَـا رَ بَّ مَــكَّـــةَ وَ الــصَّـــفَـا بـِمُـحَـــمَّـدٍ
اِ غْــفِـرْ لَــنـَـا يـَـا سَــا مِـعـًـا لِــدُ عَـانَـا
Maka Wahai Pemilik Makkah dan Bukit Shafa, demi Muhammad,
Ampuni dosa kami wahai yang selalu mendengar do’a kami.
ثــُــمَّ الــصَّـــــلا َةُ عَــلَـى الــنَّـــبِـى وَ آلــِــهِ
مَــا حَــرَّ كَـــتْ رِ يـْـــحُ الـصَّــبـَـا أ َغْــصَـانَـا
Lalu limpahan Shalawat atas Nabi dan Keluarganya,
Sebanyak hembusan angin di pagi hari
Al-Habib Hadi bin Abdullah Al-Haddar (BANYUWANGI)
Kabupaten Banyuwangim, sebuah kabupaten yang terletak paling ujung timur dari propinsi Jawa Timur selain terkenal sebagai kota santri juga di kabupaten ini terdapat seorang auliya’ yang setiap tahun haulnya diperingati dengan besar-besaran setiap hari ahad pagi minggu pertama bulan Muharam. Waliyullah itu adalah Habib Hadi bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Soleh Al-Hadar. Ia Lahir pada tahun 1908 M (1325H) di Banyuwangi. Habib Hadi dari kecil telah menunjukan akhak yang terpuji. Dari kanak-kanak ia telah menunjukan sikap-sikap yang baik. Dengan teman sepermainan tidak pernah mau mengganggu dan kalau pun diganggu, ia tidak pernah melawan.Pada umur sembilan tahun, ibunya yang bernama Syarifah Syifa binti Mustafa Assegaff meninggal. Ia kemudian oleh ayahnya Habib Abdullah bin Umar Al-Haddar dibawa ke Gathan, Hadramaut. Selama di negeri para auliya itu, Habib Hadi belajar dengan ulama-ulama setempat. Hari- hari diisinya dengan taklim dan mengaji.
Saat bulan Ramadhan tiba, masyarakat muslim Hadramaut menyelenggarakan shalat tarawih berjamaah dengan waktu yang berbeda-beda, mulai dari lepas shalat isya sampai jelang waktu sahur. Habib Hadi tak ketinggalan ikut shalat tarawih berjamaah dari masjid yang satu ke masjid yang lainnya dari mulai lepas Isya sampai waktu jelang sahur. Kebiasaan ini membuat ayahanda Habib Hadi, Habib Abdullah bin Umar marah kepadanya.”Kamu ke sini bukan untuk beribadah. Kamu datang ke sini untuk menuntut ilmu. Jangan satu malam kamu habiskan untuk shalat tarawih.”
Padahal usianya pada waktu itu, baru 11 tahun, ayahnya meninggal. Habib Hadi kemudian tinggal bersama seorang adiknya, yakni Habib Muhammad. Saat itulah ia hidup sangat sederhana di Hadramaut, namun di tengah kesederhanaan itu, ia selalu mendahulukan adiknya. Kalau ia mendapatkan dua keping roti dan secangkir kopi tiap sehabis shalat berjamaah, dua keping roti dan secangkir kopi itu diberikan untuk adiknya dan ia lebih berpuasa. Demikian kecintaan yang luarbiasa untuk sang adik.
Habib Hadi dari kecil telah menjaga makanan yang dimakan dari sesuatu yang haram, bahkan yang diragukan (subhat). Pernah suatu ketika sang adik membawa buah-buahan, ia kemudian bertanya, ”Dari mana kamu dapat buah-buahan ini?”
Sang adik menjawab,”Saya memungut dari kebun sebelah.”
Mendengar jawaban dari sang adik, Habib Hadi marah kemudian ia memegang buah yang dibawa sang adik dan berkata, ”Kembalikan ke tempat yang kamu yang dapat.”
Sang adik pun akhirnya menuruti perintah sang kakak mengembalikan buah yang jatuh kepada sang pemilik kebun.
Demikianlah sedari kecil, Habib Hadi sangat menjaga makanan yang masuk ke perutnya. Sehingga ibadah sesuatu
Setelah ayahnya meninggal, Habib Hadi belajar dengan Habib Muhammad bin Hadi Assegaff di Seiwun. Habib Muhammad bin Hadi Seiwun ini adalah murid dari Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi, sahibul maulid Simthud Durar. Selama di majelis Habib Muhammad ini, teman Habib Hadi selama belajar di sana adalah Habib Abdulkadir bin Husein Assegaff (ayahanda Habib taufik, Pasuruan).
Kalau malam, Habib Hadi bermunajat, berdzikir dan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT (qiyamul lail), sedangkan kalau siang hari ia berpuasa. Wajarlah melihat aktivitas ibadah dari Habib hadi telah terlihat sejak kecil, membuat sang guru, Habib Muhammad memberikan kedudukan yang istimewa di tengah murid-muridnya.
Dalam mengajar, Habib Muhammad selalu menyediakan tempat duduk di sampingnya dalam keadaan kosong, dan tidak pernah ada seorang pun dari murid-muridnya yang berani menempati tempat duduk yang kosong itu. Tempat duduk yang kosong itu adalah tempat duduk Habib Hadi bin Abdullah Al-Hadar.
Pada umur 20 tahun, Habib Hadi pulang ke Indonesia melalui pelabuhan Surabaya. Saat itu ia disambut oleh saudara-saudaranya yang saat itu sudah sukses di Surabaya, seperti Habib Ahmad (pemborong jalanan), Habib Muhamad (pedagang beras), Habib Mustafa (saudagar kopra). Tapi, Habib Hadi menolak semua sambutan yang meriah, ia menolak pakaian yang sudah dipersiapkan oleh saudara-saudaranya.
Melihat saudaranya yang sudah maju, Habib Hadi tidak terpikat untuk bergabung dengan saudara-saudaranya. Ia justru mampir ke tempat kenalannya yakni H. Abdul Aziz, seorang pedagang kain. Habib Hadi tiap hari berjualan sarung, kain batik di pasar. Melihat Habib Hadi jualan di pasar, saudara-saudaranya marah. Habib Hadi kemudian ditarik kerja di pelabuhan bagian menimbang kopra.
Akhirnya Habib Hadi, menurut perintah saudara-saudaranya kerja di pelabuhan. Namun, sebelum kerja di pelabuhan, ia sempat mampir ke pasar untuk membeli paesan (nisan untuk orang mati) dan selalu dibawa ke tempat kerja. Nisan yang terbuat dari kayu itu ditaruhnya di bawah timbangan dan selalu ditaburi bunga yang masih segar. “Saya kalau menimbang kopra selalu ingat nisan yang ada di bawah timbangan. Dengan mengingat nisan ini, saya selalu ingat akan mati, maka timbangannya harus pas. Karena yang saya timbang ini akan dipertanggungjawabkan, kelak di hari kiamat,” kata Habib Hadi mengomentari tingkahnya yang selalu membawa nisan saat bekerja.
Pernah ia dipindah ke bagian keuangan (kasir), suatu saat ia mengumpulkan uang yang rusak, palsu dan dikumpulkan semua. Dan akhirnya semua uang yang rusak itu dibuang ke laut. Melihat perilaku Habib Hadi, saudara-saudaranya sudah habis rasa kesalnya. Mereka marah dengan perilaku Habib Hadi.
Melihat ketidakcocokan dalam bekerja dengan saudara-saudaranya, Habib Hadi kemudian berhenti bekerja dan lebih banyak beribadah serta hadir di acara-acara haul para ulama dan habib yang tersebar di Pulau Jawa, mulai Habib Ali bin Abdurahman Al-Habsyi. Habib Hadi kembali berdagang kain untuk menghidupi keluarga. Uniknya dalam berdagang, ia selalu jujur mengatakan harga yang sebenarnya dari barang yang dijualnya kepada pembelinya.”Boleh kamu kasih ongkosnya, atau lebihkan sedikit dari barang ini,” kata Habib Hadi kepada para pembelinya.
KH Chasan Abdillah salah seorang ulama ternama di Glenmoore, Banyuwangi pernah berkata kepada Habib Hadi, ”Habib, anda tidak ditipu sama orang dengan berjualan seperti itu?”
“Biar orang-orang menipu saya. Yang penting, saya tidak menipu sama orang lain,” kata Habib Hadi kepada KH Chasan Abdillah.
Habib Hadi saat Banyuwangi dikenal sangat dekat dengan Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaff (Pasuruan). Saat itu Habib Ja’far mempunyai tasbih kesayangan yang diperoleh dari Habib Husein bin Muhammad Al-Haddad. Tasbih itu ternyata adalah milik Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi. “Siapa yang memegang tasbih ini akan membuat kenyang akan dzikrullah,” kata Habib Ja’far kepada orang-orang yang ada di majelis. Orang-orang berebut ingin mendapatkannya. Tapi Habib Ja’far bin Syaikhon mencegahnya.”Sebentar lagi orangnya akan datang.” Tak berapa lama kemudian Habib Hadi hadir di majelis, Habib Ja’far langsung bangkit dan mengalungkan tasbih kesayangannya ke leher Habib Hadi.
Saking dekatnya antara Habib Ja’far, kalau Habib Hadi datang, selalu diajaknya ke kamar dan dikunci. Sekalipun Habib Ja’far sedang ada pengajian atau tamu, Habib Hadi selalu diajaknya ke kamar khusus. Apa yang mereka perbincangkan, tidak ada yang tahu.
Habib Hadi wafat pada usia 65 tahun dengan meninggalkan 8 orang anak (1 putra, 7 perempuan), pada Kamis, 4 Muharam 1393 H (8 Februari 1973). Jenazahnya kemudian dishalati dengan imam Habib Abdulkadir bin Husein Assegaff (Pasuruan) dan dimakamkan di komplek makam Blambangan, Lateng, Banyuwangi.
Saat bulan Ramadhan tiba, masyarakat muslim Hadramaut menyelenggarakan shalat tarawih berjamaah dengan waktu yang berbeda-beda, mulai dari lepas shalat isya sampai jelang waktu sahur. Habib Hadi tak ketinggalan ikut shalat tarawih berjamaah dari masjid yang satu ke masjid yang lainnya dari mulai lepas Isya sampai waktu jelang sahur. Kebiasaan ini membuat ayahanda Habib Hadi, Habib Abdullah bin Umar marah kepadanya.”Kamu ke sini bukan untuk beribadah. Kamu datang ke sini untuk menuntut ilmu. Jangan satu malam kamu habiskan untuk shalat tarawih.”
Padahal usianya pada waktu itu, baru 11 tahun, ayahnya meninggal. Habib Hadi kemudian tinggal bersama seorang adiknya, yakni Habib Muhammad. Saat itulah ia hidup sangat sederhana di Hadramaut, namun di tengah kesederhanaan itu, ia selalu mendahulukan adiknya. Kalau ia mendapatkan dua keping roti dan secangkir kopi tiap sehabis shalat berjamaah, dua keping roti dan secangkir kopi itu diberikan untuk adiknya dan ia lebih berpuasa. Demikian kecintaan yang luarbiasa untuk sang adik.
Habib Hadi dari kecil telah menjaga makanan yang dimakan dari sesuatu yang haram, bahkan yang diragukan (subhat). Pernah suatu ketika sang adik membawa buah-buahan, ia kemudian bertanya, ”Dari mana kamu dapat buah-buahan ini?”
Sang adik menjawab,”Saya memungut dari kebun sebelah.”
Mendengar jawaban dari sang adik, Habib Hadi marah kemudian ia memegang buah yang dibawa sang adik dan berkata, ”Kembalikan ke tempat yang kamu yang dapat.”
Sang adik pun akhirnya menuruti perintah sang kakak mengembalikan buah yang jatuh kepada sang pemilik kebun.
Demikianlah sedari kecil, Habib Hadi sangat menjaga makanan yang masuk ke perutnya. Sehingga ibadah sesuatu
Setelah ayahnya meninggal, Habib Hadi belajar dengan Habib Muhammad bin Hadi Assegaff di Seiwun. Habib Muhammad bin Hadi Seiwun ini adalah murid dari Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi, sahibul maulid Simthud Durar. Selama di majelis Habib Muhammad ini, teman Habib Hadi selama belajar di sana adalah Habib Abdulkadir bin Husein Assegaff (ayahanda Habib taufik, Pasuruan).
Kalau malam, Habib Hadi bermunajat, berdzikir dan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT (qiyamul lail), sedangkan kalau siang hari ia berpuasa. Wajarlah melihat aktivitas ibadah dari Habib hadi telah terlihat sejak kecil, membuat sang guru, Habib Muhammad memberikan kedudukan yang istimewa di tengah murid-muridnya.
Dalam mengajar, Habib Muhammad selalu menyediakan tempat duduk di sampingnya dalam keadaan kosong, dan tidak pernah ada seorang pun dari murid-muridnya yang berani menempati tempat duduk yang kosong itu. Tempat duduk yang kosong itu adalah tempat duduk Habib Hadi bin Abdullah Al-Hadar.
Pada umur 20 tahun, Habib Hadi pulang ke Indonesia melalui pelabuhan Surabaya. Saat itu ia disambut oleh saudara-saudaranya yang saat itu sudah sukses di Surabaya, seperti Habib Ahmad (pemborong jalanan), Habib Muhamad (pedagang beras), Habib Mustafa (saudagar kopra). Tapi, Habib Hadi menolak semua sambutan yang meriah, ia menolak pakaian yang sudah dipersiapkan oleh saudara-saudaranya.
Melihat saudaranya yang sudah maju, Habib Hadi tidak terpikat untuk bergabung dengan saudara-saudaranya. Ia justru mampir ke tempat kenalannya yakni H. Abdul Aziz, seorang pedagang kain. Habib Hadi tiap hari berjualan sarung, kain batik di pasar. Melihat Habib Hadi jualan di pasar, saudara-saudaranya marah. Habib Hadi kemudian ditarik kerja di pelabuhan bagian menimbang kopra.
Akhirnya Habib Hadi, menurut perintah saudara-saudaranya kerja di pelabuhan. Namun, sebelum kerja di pelabuhan, ia sempat mampir ke pasar untuk membeli paesan (nisan untuk orang mati) dan selalu dibawa ke tempat kerja. Nisan yang terbuat dari kayu itu ditaruhnya di bawah timbangan dan selalu ditaburi bunga yang masih segar. “Saya kalau menimbang kopra selalu ingat nisan yang ada di bawah timbangan. Dengan mengingat nisan ini, saya selalu ingat akan mati, maka timbangannya harus pas. Karena yang saya timbang ini akan dipertanggungjawabkan, kelak di hari kiamat,” kata Habib Hadi mengomentari tingkahnya yang selalu membawa nisan saat bekerja.
Pernah ia dipindah ke bagian keuangan (kasir), suatu saat ia mengumpulkan uang yang rusak, palsu dan dikumpulkan semua. Dan akhirnya semua uang yang rusak itu dibuang ke laut. Melihat perilaku Habib Hadi, saudara-saudaranya sudah habis rasa kesalnya. Mereka marah dengan perilaku Habib Hadi.
Melihat ketidakcocokan dalam bekerja dengan saudara-saudaranya, Habib Hadi kemudian berhenti bekerja dan lebih banyak beribadah serta hadir di acara-acara haul para ulama dan habib yang tersebar di Pulau Jawa, mulai Habib Ali bin Abdurahman Al-Habsyi. Habib Hadi kembali berdagang kain untuk menghidupi keluarga. Uniknya dalam berdagang, ia selalu jujur mengatakan harga yang sebenarnya dari barang yang dijualnya kepada pembelinya.”Boleh kamu kasih ongkosnya, atau lebihkan sedikit dari barang ini,” kata Habib Hadi kepada para pembelinya.
KH Chasan Abdillah salah seorang ulama ternama di Glenmoore, Banyuwangi pernah berkata kepada Habib Hadi, ”Habib, anda tidak ditipu sama orang dengan berjualan seperti itu?”
“Biar orang-orang menipu saya. Yang penting, saya tidak menipu sama orang lain,” kata Habib Hadi kepada KH Chasan Abdillah.
Habib Hadi saat Banyuwangi dikenal sangat dekat dengan Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaff (Pasuruan). Saat itu Habib Ja’far mempunyai tasbih kesayangan yang diperoleh dari Habib Husein bin Muhammad Al-Haddad. Tasbih itu ternyata adalah milik Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi. “Siapa yang memegang tasbih ini akan membuat kenyang akan dzikrullah,” kata Habib Ja’far kepada orang-orang yang ada di majelis. Orang-orang berebut ingin mendapatkannya. Tapi Habib Ja’far bin Syaikhon mencegahnya.”Sebentar lagi orangnya akan datang.” Tak berapa lama kemudian Habib Hadi hadir di majelis, Habib Ja’far langsung bangkit dan mengalungkan tasbih kesayangannya ke leher Habib Hadi.
Saking dekatnya antara Habib Ja’far, kalau Habib Hadi datang, selalu diajaknya ke kamar dan dikunci. Sekalipun Habib Ja’far sedang ada pengajian atau tamu, Habib Hadi selalu diajaknya ke kamar khusus. Apa yang mereka perbincangkan, tidak ada yang tahu.
Habib Hadi wafat pada usia 65 tahun dengan meninggalkan 8 orang anak (1 putra, 7 perempuan), pada Kamis, 4 Muharam 1393 H (8 Februari 1973). Jenazahnya kemudian dishalati dengan imam Habib Abdulkadir bin Husein Assegaff (Pasuruan) dan dimakamkan di komplek makam Blambangan, Lateng, Banyuwangi.
JADWAL HAUL HABAIB SEJAWA
NO
|
NAMA | BULAN | TEMPAT |
1. | Habib Hadi Bin Abdullah Al-Haddar | Minggu, 1 Muharram | Lateng Banyuwangi |
2. | Fakhrul Wujud Syekh Abubakar Bin Syalim | Muharram | Cidodol Jakarta Selatan |
3. | Habib Abubakar Bin Husein Assegaf | 27 Muharram | Bangil Pasuruan |
4. | Habib Husein Bin Hadi Al-Hamid | 12 Shafar | Brani Probolinggo |
5. | Habib Abdullah Bin Ali Al-Haddad | 27 Shafar | Bangil Pasuruan |
6. | Habib Hasan Bin Muhammad Al-Hadad | Shafar Minggu Terakhir | Kota, Jakarta Utara |
7. | Do’a Tolak Bala dan Maulid di Pon-Pes Darul Hadist Alfagihiyah | Shafar Rabu Terakhir | Alun-alun Malang |
8. | Habib Abdul Qadir Bib Alwi Assegaf | Rabiul Awal, Minggu Pertama | Tuban |
9. | Maulid di Makam Habib Ahmad Al-Haddad | Rabiul Awal Minggu Pertama Sore | Habib Kuncung Kalibata |
10. | Habib Ali Bin Husein Al-Atthas | Rabiul Awal, Selasa Terakhir | Buluh Condet Jakarta |
11. | Habib Abdullah Bin Muchsin Al-Atthas. (Selasa malem Maulid, Rabu pagi Haul ) | Rabiul Awal Rabu Terakhir | Empang bogor |
12. | Maulid di Habib Abubakar Assegaf | Rabiul Awal Jum’at Pertama | Gresik |
13. | Maulid di Habib Muhammad Al-Aydrus | Rabiul Awal Jum’at Pertama | Ketapang Kecil Surabaya |
14. | Habib Ali Bin Abdulrahman Al-Habsyi (Rabu sore Ziarah, Kamis sore maulid) | Rabiul Awal Rabu Terakhir | Kwitang Jakarta Pusat |
15. | Maulid di Darul Aitam | Rabiul Awal Jumat Pagi | Tanah Abang Jakarta |
16. | Habib Muchsin Bid Muhammad Al-Atthas (Haul & Maulid) | Rabiul Awal Sabtu Pagi | Alhawi Condet Jakarta |
17. | Maulid di Habib Ahmad Al-Atthas | 15 Malam Rabiul Awal | Pekalongan |
18. | Habib Salim Bin Ahmad Bin Zindan | Rabiul Awal Senin Sore | Otista Jakarta Timur |
19. | Maulid di Habib Abdulrahman Assegaf | Rabiul Awal Minggu Pagi | Al Busro Citayam |
20. | Habib Ali Bin Muhammad Al-Habsyi (Simthuduror) | 20 Rabiul Tsani | Gurawan Solo |
21. | Habib Muhammad Bin Idrul Al-Habsyi | 22 Rabiul Tsani | Ampel Surabaya |
22. | Habib Muhammad Bib Ahmad Al-Muhdhor | 22 Rabiul Tsani | Ampel Surabaya |
23. | Habib Abubakar Bin Syofi Al-Habsyi | 22 Rabiul Tsani | Ampel Surabaya |
24. | Habib Idrus Bin Abubakar Al-Habsyi | 22 Rabiul Tsani | Ampel Surabaya |
25. | Habib Umar Bin Abdulrahman Al-Atthas | 23 Rabiul Tsani | Petamburan Jakarta |
26. | Habib Alwi Bin Salim Al-Aydrus | 23 Rabiul Tsani | Tanjung Malang |
27. | Habib Umar Bin Hud Al-Atthas | 29 Rabiul Tsani | Cipayung Jawa Barat |
28. | Habib Muhammad Bin Husein Al-Aydrus | Jumadil Awal Kamis Terakhir | Ketapang Kecil Surabaya |
29. | Habib Ahmad Bin Abdullah Al-Aydrus | Jumadil Akhir Minggu Pertama | Benhil Jakarta Pusat |
30. | Habib Husein Bin Muhammad Al-Haddad | Jumadil Akhir Sabtu Ketiga | Ampel Surabaya |
31. | Habib Ja’far Bin Syekhon Assegaf | Jumadil Akhir Minggu Ketiga | Masjid Jami’ Pasuruan |
32. | Habib Abdul Qodir Bin Ahmad Bilfaqih | Jumadil Akhir Minggu Terakhir | Alun-alun Malang |
33. | Habib Abdullah Bin Abdul Qodir Bilfaqih | Jumadil Akhir Minggu Terakhir | Alun-alun Malang |
34. | Habib Muhammad Bin Thohir Ba’bud | Rajab Minggu Pertama | Ds.Paleng Ploso Kediri |
35. | Khataman Bukhari di Habib Ahmad Al-Atthas | 12 Rajab | Pekalongan |
36. | Khataman Bukhari di Masjid Al-Hawi | 26-27 Rajab | Condet Cililitan Jakarta |
37. | Khataman Bukhari di Habib Abubakar Assegaf | Rajab Jum’at Terakhir | Grasik Surabaya |
38. | Habib Syeh Bin Salim Al-Atthas | 27 Rajab | Tipar Sukabumi |
39. | Habib Muhdor Bin Muhammad Al-Muhdor | 29 Rajab | Bondowoso |
40. | Habib Balawi, Al-Syathiri, Al-Qudsi | 10 Sya’ban | Kp.Bandan Jakarta Utara |
41. | Habib Ahmad Bin Tholib Al-Atthas | 14 Sya’ban | Pekalongan |
42. | Habib Muhammad Bin Thohir Al-Haddad | 15 Sya’ban | Tegal |
43. | Habib Muhammad Bin Abdulrahman Assegaf | 16 Pagi Sya’ban | Indramayu Jawa Barat |
44. | Habib Ali Bin Abdulrahman Al-Habsyi (Ziarah dimakam Habib Ali, Besoknya Haul) | Sya’ban Sabtu Ketiga | Kwitang Jakarta Pusat |
45. | Habib Salim Bin Thoha Al-Haddad | Sya’ban Jum’at Terakhir | Damai Kalibata |
46. | Habib Ahmad Bin Alwi Al-Haddad | Sya’ban Minggu terakhir | Rawajati Kalibata |
47. | Habib Syech Bin Ahmad Bafaqih | Syawal Kamis Kedua | Boto Putih Surabaya |
48. | Habib Umar Bin Ja’far Assegaf | 5 Syawal | Cibeduk Tapos Jawa Barat |
49. | Habib Sholeh Bin Muchin Al-Hamid | Syawal Minggu Kedua | Tanggul Jember |
50. | Habib Ahmad Bin Ali Bafaqih | Syawal Sabtu Terakhir | Ds. Tempel Yogyakarta |
51. | Habib Husein Bib Abubakar Al-Aydrus | Syawal Minggu Terakhir | Luarbatang Jakarta Utara |
52. | Majlis Burdah Habib Muhammad Al-Aydrus | Syawal Kamis Kedua | Ketapang Kecil Surabaya |
53. | Habib Alwi Bin Muhammad Assegaf | 10 Dzulhijah | Gresik Kota Surabaya |
54. | Habib Abubakar Bin Muhammad Assegaf | 17 Dzulhijah | Masjid Jami’ Gresik |
55. | Habib Harun Bin Abdullah Baharun | 17 Dzulhijah | Sumur Songo Gresik |