Habib Munzir bin Fuad Al Musawa beliau berkata: "Tiadalah yang lebih ditakuti Syaiton , para Jin, dan Iblis melebihi hati yang berdzikir. Ketika hati sedang ingat Allah , itulah yang paling ditakuti oleh Syaithon"
PENGAJIAN PEMBACAAN WIDRUL KABIR WA SAGHIR HARI RABU MALAM KAMIS TGL 5 maret 2014 BERTEMPAT DI RUMAH FERRY IVANA ANGGRIAWAN, JL S PARMAN N0 12 A PAKIS KRAJAN BANYUWANGI
PENGAJIAN RATIB AL-HADDAD TANGGAL 8 FEBRUARI BERTEMPAT DI RUMAH Bp. Drs AHMAD AL-FATTAH JL.S.PARMANSUMBEREJO PAKIS BELAKANG RUMAH HABIB ANNIS AL-HADDAR BANYUWANGI

MAJELIS DZIKIR ROTIBUL HADDAD

Awal mula berdirinya Majelis Rotibul Haddad Banyuwangi bermula dari desa pakis banyuwangi.
Yang awal mula digagas oleh Habib anis bin hasan Al-haddar, dan baru di ikuti hanya tiga jama'ah, namun dengan ketekunan dan istiqomah beliau dan selalu bermunajat kepada sang khaliq, seiring dengan perkembangan sampai saat ini jamaahnya sudah mencapai dua ratus jamaah,
Yang meliputi wilayah banyuwangi, labanasem malar, macan putih, rogojampi dan songgon,
Pengajian rutin diadakan setiap satu minggu satu kali pada hari jum'at malam sabtu di rumah jamaah masing.masing secara bergantian,
Dengan adanya pengajian istighosah Ratib Al-haddad ini semoga mendapat Lindungan dari Allah SWT dan dukungan dari Jamaah, dan masyarakat umum.

HABIB UMAR BIN HAFIDZ

Al-Habib Qasim bin Husain al-Atthas (khadim Guru Mulia ketika di Darul Musthafa), menceritakan kejadian yang beliau dengar langsung dari lisan al-Habib Muhammad bin Umar bin Hafidz (putera Guru Mulia). Satu waktu, kurang lebih sebulanan yang lalu, murid al-Habib Umar bin Hafidz di Bruthonia Inggris membuat acara semacam seminar dalam satu gedung berkapasitas 3.000 peserta yang kesemuanya dari kalangan profesor, doctor dan kalangan terpelajar namun kesemuanya beragama non muslim. Seperti biasa sebelum berceramah Guru Mulia terlebih dahulu membaca Ratib al-Atthas, Maulid adh-Dhiyaul Lami’ yang telah ada terjemahan bahasa Inggrisnya. Di saat mahallul qiyam (berdiri di tengah pembacaan maulid Nabi Saw.), semua ikut berdiri dan hampir semua peserta menangis. Selesai pembecaan maulid Nabi Saw., Guru Mulia al-Habib Umr bin Hafidz pun memberikan ceramah. Akhirnya ceramah usai dan Guru Mulia keluar dari gedung hendak menuju ke mobil. Sesampainya di mobil, ternyata murid al-Habib Umar dari pihak crew event tersebut meminta beliau untuk masuk kembali karena katanya jamaah di dalam gedung masih belum puas mendengar ceramah Guru Mulia. Akhirnya Guru Mulia balik lagi ke gedung tersebut. Setelah beliau naik panggung, beliau bertanya ke seluruh peserta seminar: “Kenapa kalian memanggilku kembali?” Jawab peserta: “Kami ingin masuk Islam, mengucapkan syahadat melaluimu.” Subhanallah, tidak kurang dari 2.900 peserta masuk Islam.

MANAQIB AL-IMAM AL-HABIB MUHAMMAD BIN ABDULLAH AL-HADDAR (1340 H/1921 M - 1418 H/1997 M)

Meskipun beliau termasuk orang alim ‘allamah dan masyhur sebagai wali Allah, mungkin belum banyak yang tahu tentang jejak-rekam riwayat hidup beliau. Namun jika disebut nama al-Habib Umar bin Hafidz, mayoritas Muslimin dunia mengetahuinya. Padahal keduanya merupakan ulama yang memiliki hubungan erat satu sama lainnya, hubungan antara guru dan murid serta antara mertua dan menantu. Daftar Isi: a. Nasab Al-Habib Muhammad Al-Haddar b. Kelahiran Al-Habib Muhammad Al-Haddar c. Guru-guru dan Kegigihan Belajar Al-Habib Muhammad Al-Haddar d. Perjuangan Dakwah Al-Habib Muhammad Al-Haddar e. Karya-karya Al-Habib Muhammad Al-Haddar f. Akhir Hayat Al-Habib Muhammad Al-Haddar a. Nasab Al-Habib Muhammad Al-Haddar Nasab lengkap beliau adalah al-Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar bin Syaikh bin Muhsin bin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Shaleh bin Ahmad bin Syaikh Abubakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali Shahib ad-Dark bin Alwi al-Ghuyur bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Marbat bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad Shahib ash-Shauma’ah bin Alwi bin Ubaidillah bin al-Muhajir Ilallah Ahmad bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin al-Imam Husain bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw. suami Sayyidah Fathimah az-Zahra binti Rasulullah Saw. b. Kelahiran Al-Habib Muhammad Al-Haddar Al-Habib Muhammad al-Haddar lahir di desa ‘Azzah, dekat Kota al-Baidha’ di utara Yaman, pada tahun 1340 H/1921 M. Ayah beliau adalah al-Habib Abdullah dan ibu beliau adalah Hababah Nur binti Abdullah Ba Sahi, seorang wanita shalihah yang dikenal karena amal dan ibadahnya. Ibunya sangatlah pemurah hingga sering membantu orang-orang yang kelaparan, terutama pada saat bencana kelaparan di Yaman selama Perang Dunia Kedua. Pada masa kecilnya, al-Habib Muhammad al-Haddar belajar al-Quran dan ilmu-ilmu dasar agama dari ayahandanya sendiri dan para ulama Baidha’. Di salah satu malam terakhir bulan Ramadhan sewaktu dirinya berada di masjid disaksikan cahaya yang cemerlang, malam Lailatul Qadar. Merupakan hal yang sangat utama dan mulia tatkala seorang hamba diberikan anugerah oleh Allah Swt. dapat menyaksikan malam yang satu malamnya lebih baik daripada seribu bulan. c. Guru-guru dan Kegigihan Belajar Al-Habib Muhammad Al-Haddar Semangat dan hausnya dalam mencari ilmu mendorongnya untuk melakukan perjalanan ke Tarim pada usia 17 tahun. Setelah melakukan perjalanan dengan perahu layar dari ‘Adn ke al-Mukalla, dengan terpaksa beliau harus menghentikan langkahnya. Karena masa itu di tempat yang akan dituju beliau sedang terjadi pertikaian politik, dihimbau untuk kembali ke rumah. Namun dengan semangatnya yang tinggi, beliau pun tidak patah arang untuk tetap melanjutkan pengembaraannya. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan melalui darat. Ayahnya turut serta menemaninya dalam perjalanan. Ketika tiba saatnya bagi mereka untuk berpisah, sang ayah pun menghadap ke kiblat dengan linangan air mata dan berkata: “Ya Allah, orang yang mengirimkan anak-anak mereka ke Amerika dan tempat-tempat lain demi mendapatkan uang. Dan saya mengirimnya untuk belajar sampai ia mendapat kefutuhan dan menjadi seorang ulama, yang bertindak sesuai dengan pengetahuan mereka.” Meski dalam perjalanannya menghadapi kepayahan dan kelaparan yang membuat dirinya hampir mati kehausan di jalan pegunungan antara Seiwun dan Tarim, akhirnya tibalah ia di Tarim dengan selamat. Langsung saja beliau menuju ke ribath terkenal dan bertemu dengan seorang guru utamanya, al-Habib Abdullah bin Umar asy-Syathiri. Al-Habib Muhammad al-Haddar menghabiskan 4 tahun untuk belajar di Rubath Tarim dengan usaha yang sangat gigih. Kegigihan itu tergambarkan setiap sebelum dimulainya pelajaran beliau selalu mempersiapkan pelajaran-pelajaran itu dengan membacanya setidaknya hingga delapan belas kali. Dan sehari-harinya beliau hanya tidur sekitar dua jam, satu jam di siang hari dan satu jam di malam harinya. Sehingga menjadikan al-Habib Abdullah asy-Syathiri, sang guru, mengakui kemampuannya dan memberinya perhatian khusus serta tanggung jawab penuh. Selain kepada ayahandanya sendiri dan kepada pengasuh Rubath asy-Syathiri, beliau juga telah belajar dengan para ulama yang masyhur pada zamannya. Diantaranya adalah: 1. Al-Habib Alwi bin Abdullah Shihabuddin. 2. Al-Habib Ja’far bin Ahmad Alaydrus. 3. Asy-Syaikh Mahfudz bin Salim az-Zubaidi. 4. Dan masih banyak lainnya. d. Perjuangan Dakwah Al-Habib Muhammad Al-Haddar Setelah gurunya, al-Habib Abdullah bin Umar asy-Syathiri, wafat tahun 1361 H/1941 M maka al-Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar kembali ke kampung halaman. Hatinya penuh dengan keinginan untuk menyebarkan pengetahuan dan membatu orang-orang menuju ke jalan Allah Swt. Pada tahun 1362 H/1942 M, beliau mendirikan sebuah madrasah di tempat kelahirannya di ‘Azzah. Beliau juga termasuk berjasa dalam penyelesaian konflik antar suku pada waktu itu. Beliau melakukan perjalanan dengan berjalan kaki untuk melakukan haji pada tahun 1365 H/1945 M. Sekembalinya dari berhaji, beliau menghabiskan beberapa waktu di Ta’izz untuk belajar kepada al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya. Pada tahun 1375 H/1955 M, beliau melakukan haji untuk yang kedua kalinya. Dan setelahnya beliau selalu menyempatkan diri untuk berhaji tiap tahunnya. Disamping berhaji, tak lupa beliau mengambil ilmu dari para ulama Hijaz. Diantaranya beliau belajar kepada al-Muhaddits as-Sayyid Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani. Pada tahun 1370 H/1950 M, beliau melakukan perjalanan ke Somalia dan menjadi imam Masjid Mirwas di Mogadishu. Akhirnya beliau menetap di sana selama satu tahun setengah. Selain itu, kesibukan beliau di sana adalah istiqamah mengajar dan mengawasi pembentukan ribath (pesantren) di Kota Bidua. Di sinilah beliau bertemu seorang guru besar bernama al-Habib Ahmad Masyhur bin Thoha al-Haddad. Al-Habib Muhammad al-Haddar sudah lama ingin mendirikan ribath di Kota al-Baidha. Beliau mencari dukungan keuangan di ‘Adn dan Ethiopia. Usahanya nampak berhasil dengan selesainya konstruksi awal pada tahun 1380 H/1960 M. Beliau meminta agar al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafiz (ayah dari al-Habib Umar bin Hafidz) mengirim seseorang dari Tarim. Pada saat itu al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith adalah orang yang dipilih al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz untuk menjadi guru di ribath dan menetap di al-Baidha sekitar 20 tahun. Pada tahun 1402 H/1981 M, al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz meninggalkan Hadhramaut yang saat itu sedang bergejolak perang saudara, dan datang ke al-Baidha. Beliau menghabiskan 10 tahun untuk belajar kepada al-Habib Muhammad al-Haddar. Akhirnya al-Habib Umar bin Hafidz pun bukan hanya menjadi murid gurunya itu, melainkan juga sebagai menantu dengan menikahi putri sang guru. Di ribathnya al-Habib Umar bin Hafidz juga diminta untuk mengajar. Al-Habib Muhammad al-Haddar salalu setia dalam oposisinya terhadap pemerintah sosialis yang berkuasa di Yaman Selatan tahun 1387 H/1967 M. Hal ini menyebabkan beliau dipenjara di al-Mukalla dalam kunjungannya ke Hadhramaut pada tahun 1390 H/1970 M). Di dalam penjara beliau tak pernah putus dalam mengajar hingga para narapidanalah yang menjadi sebagai muridnya. Hingga pada akhirnya beliau dibebaskan melalui perantara dari al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah dan al-Habib Ja’far Alaydrus. Kemudian beliau pun kembali ke al-Baidha setelah berterimakasih kepada mereka atas usahanya dan telah memperingatkan para ulama Tarim dan Seiwun dari bahaya yang tersisa di Hadhramaut. Pada tahun 1395 H/1974 M, beliau pergi ke Kepulauan Comoros untuk mengunjungi seorang ulama besar di sana, al-Habib Umar bin Ahmad bin Smith. Setelah itu beliau menuju Kenya untuk mengunjungi gurunya, al-Habib Ahmad Masyhur al-Haddad. Hubungannya sangat dekat dan erat dengan ulama besar Jeddah, al-Habib Abdul Qadir Assegaf. Mereka berdua pernah bepergian bersama ke Irak dan Suriah pada tahun 1396 H/1975 M. Al-Habib Abdul Qadir juga sudah dua kali mengunjungi al-Baidha dan ribath yang didirikan oleh al-Habib Muhammad al-Haddar. Al-Habib Muhammad al-Haddar termasuk salah satu ulama yang mengapresiasi dan sangat menghormati gerakan Jama’ah Tabligh (JT). Terbukti di tahun 1402 H/1981 M, beliau menuju ke Pakistan, Bangladesh, Thailand dan Malaysia untuk mengunjungi para ulama gerakan itu dan menghadiri pertemuan mereka. e. Karya-karya Al-Habib Muhammad Al-Haddar Diantara kitab yang beliau ajarkan adalah Shahih al-Bukhari, Ihya ‘Ulumiddin, asy-Syifa’ DAN Minhaj ath-Thalibin karya Imam an-Nawawi. Beliau juga telah mengumpulkan sejumlah koleksi dari adzkar (wiridan-wiridan) untuk dibaca pada siang hari dan malam hari yang terkumpul dalam kitabnya yang berjudul al-Fawaid al-Itsna ‘Asyar dan Nasyi-at al-Lail. Dan wiridan yang dibaca saat dalam perjalanan dikumpulkannya dalam kitab Jawahir al-Jawahir. Wiridan-wiridan itu hingga kini masih banyak dibaca di Darul Musthafa, ribath yang didirikan oleh sang menantu. Beliau juga menyusun koleksi adzkar dan doa-doa untuk Ramadhan yang dikumpulkannya dalam kitab an-Nafahat ar-Ramadhaniyyah. Dan juga wirid-wirid dan doa untuk haji dalam kitab Miftah al-Haji. Beliau pun menulis sebuah risalah tentang pencapaian akhlak mulia dalam kitabnya yang berjudul al-‘Ajalat Sibaq. Risalah lain yang ditulisnya adalah tentang kinerja haji berjudul Risalat al-Hajj al-Mabrur dan risalah kompilasi pilihan hadits berjudul asy-Syifa Saqim. f. Akhir Hayat Al-Habib Muhammad Al-Haddar Sakit bisa datang kepada siapa saja dari hamba Allah, termasuk al-Habib Muhammad al-Haddar. Sebelum kewafatannya pun beliau menderita sakit. Hingga menjelang akhir hidupnya beliau masih sempat pindah ke Mekkah. Kata-kata terakhir yang sering beliau lafadzkan setiap hari pada masa akhir hidupnya adalah: لا إِلَهَ إِلاّ الله أَفْنِي بِها عُمْري لا إِلَهَ إِلاّ الله أَدْخُل بِها قَبْري لا إِلَهَ إِلاّ الله أَخْلو بِها وَحْدي لا إِلَهَ إِلاّ الله أَلْقى بِها رَبِّي “La Ilaha Illallah, dengan itu aku mengakhiri hidupku. La Ilaha Illallah, dengan itu aku masuk ke dalam kuburku. La Ilaha Illallah, dengan itu aku memisahkan diriku. La Ilaha Illallah, dengan itu aku bertemu Tuhanku.” Hingga akhirnya beliau tersungkur bersujud dan ruhnya meninggalkan tubuhnya. Beliau pun wafat meninggalkan dunia yang fana ini pada tanggal 08 Rabi’ul Akhir tahun 1418 H/1997 M. Jenazahnya dimakamkan di dekat makam ibundanya.

SEJARAH SHOLAWAT BADAR

Sholawat ini adalah sholawat yang banyak sekali faedahnya, menjadi sumber kekuatan dan pertolongan dan wasilah kepada Rasulullah SAW. Tetapi tak banyak yang tahu bahwa sholawat ini diilhamkan kepada seorang Kyai asli Indonesia dari NU, yakni Kyai Ali Mansur, yang semasa hidupnya menjabat sebagai pengurus NU Banyuwangi, Jatim. Saat itu sekitar tahun 1960-an. Kyai Mansur gelisah karena memikirkan pergolakan politik yang makin kacau; orang-orang PKI makin kuat di daerah pedesaan, sedangkan warga NU terdesak. Pada suatu malam beliau bermimpi didatangi sekelompok Habaib berpakaian putih-hijau, dan pada saat yang sama istrinya bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Beliau menanyakan mimpi ini kepada seorang Habib ahli kasyaf, Habib Hadi al-Haddar Banyuwangi. Oleh Habib dijawab bahwa itu adalah para pahlawan perang Badar. Dua mimpi istimewa suami-istri ini menjadikan dirinya memperoleh ilham untuk menulis syair dan sholawat. Yang lebih aneh, esok harinya tetangga berdatangan membawa banyak bahan makanan, seolah-olah akan ada acara besar. Para tetangga ini bercerita bahwa pagi-pagi buta rumah mereka diketuk oleh orang-orang berjubah putih yang memberi tahu bahwa Kyai Ali Mansur akan ada kegiatan besar. Kyai Ali Mansur bingung karena tak punya hajatan besar apapun; namun para tetangga bergotong royong memasak di dapur sampai malam, siap-siap menyambut kedatangan tamu esok pagi. Pagi hari, Kyai Ali Mansur duduk di rumahnya sambil bertanya-tanya siapa tamunya.. Lalu menjelang matahari muncul datanglah serombongan habaib dipimpin oleh Habib Ali ibn Abdurrahman al-Habsyi dari Kwitang, Jakarta. Setelah mereka berbincang, Habib Ali Kwitang bertanya kepada Kyai Mansur “mana syair yang ente buat kemarin? Mohon bacakan dan lagukan di depan kami semua.” Kyai Ali Mansur kaget karena Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya kemarin malam, padahal beliau belum bercerita kepada siapapun dan lagipula baru kali ini Habib Ali Kwitang datang jauh-jauh dari Jakarta ke Banyuwangi. Kyai Ali Mansur kemudian membacakan syair itu sambil dilagukan. Dan memang Kyai yang satu ini suaranya sangat bagus. Para habaib mendengarkan, dan tak lama kemudian mereka menangis. Selesai dibaca, Habib Ali Kwitang berdiri dan berkata, “Ya Akhi, mari kita lawan Genjer-genjer PKI dengan Shalawat Badar!” Kemudian Kyai Ali Mansur diundang ke Kwitang untuk mempopulerkan Shalawat Badar di sana. Karena itulah bacaan Sholawat Badar ini sering dipakai dalam istigotsah dan sering diamalkan para santri yang sedang menghadapi berbagai kesulitan. Meski sebagian kalangan non-NU menganggap sholawat ini bid’ah, namun dalam kenyataannya, para Wali Allah tak menganggapnya bid’ah dan bahkan mengakui dan mengamalkannya, seperti dicontohkan oleh ulama besar Habib Ali Kwitang. Mudah2an kita diberi kelapangan dan kemampuan oleh Allah untuk mengamalkannya, membebaskan segala duka cita kita lantaran berkah Rasul dan para pahlawan badar… Ilahi sallimil ummah minal aafati wan niqmah… wa min hamin wamin ghummah, bi ahlil badri yaa Allah….

HABIB HADI BIN ABDULLAH BIN UMAR AL HADDAR (BANYUWANGI-JAWA TIMUR)

WAKTU ibumu melahirkan engkau, engkau menangis menjerit-jerit. Sedangkan orang di kanan kirimu, tertawa kegirangan. Usahakanlah di waktu matimu, engkau tersenyum simpul. Dan orang di kanan kirimu menangis meratap-ratap. (Detik-detik kematiannya). Pagi hari itu, sebagaimana biasanya, Habib Hadi masih menerima dan menjamu tamunya. Tiba-tiba beliau berkata pada tamunya, “Coba lihat di luar ada orang memberi salam.” Setelah dilihat di luar, ternyata tidak ada siapa-siapa. Hal ini terjadi sampai tiga kali berturut-turut. Habib Hadi berkata lagi, “Maaf saya sekarang ada urusan yang sangat penting.” Tamunya pun pulang, Habib Hadi masuk kedalam menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu kemudian shalat sunnah Dhuha. Berdzikir, berdo’a, beliau merebahkan diri, dengan terlentang dan meletakkan kedua tangannya, seperti orang shalat. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Habib Hadi wafat dalam keadaan tersenyum dan menebarkan aroma harum. Orang beriman kalau mati ibarat malam pengantin, penuh dengan kesenangan dan keindahan (Habib Hadi). Ribuan pelayat mengantarkan kepergian¬nya sambil menangis, sedang beliau sendiri tersenyum. *** Habib Hadi adalah putra Habib Abdullah bin Umar Al-Haddar, lahir pada tahun 1910 M. Sejak masih anak-anak beliau dikirim oleh orang tuanya ke negeri Yaman untuk menuntut ilmu agama. Selama tinggal di Yaman, ketika bulan Ramadhan tiba, selalu melaksanakan tarawih semalam suntuk, dari masjid satu lalu ke masjid yang lain hingga Shubuh. Sejak usia 11 tahun, Habib Hadi sudah berpakaian gamis (jubah) dan surban, juga selalu terselip siwak di atas surbannya. Beliau memakai siwak setiap akan menunaikan shalat. Kesenangannya dalam beribadah (shalat), dzikirullah, menghadiri majlis ta’lim, melantunkan qasidah dengan suaranya yang sangat merdu dan menyentuh kalbu adalah hiburan Habib Hadi semasa hidupnya. Habib Hadi adalah peletak batu pertama pembangunan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi. Saat shalat Jum’at di Masjid Agung Baiturrahman, beliau selalu datang pertama dan pulang terakhir. Di zaman penjajahan, menjelang shalat Jum’at, masjid di bom oleh Jepang, semua lari mencari perlindungan untuk menyelamatkan diri. Habib Hadi dengan penuh ketena¬ngan maju ke atas mimbar, menggantikan khatib dan imam yang sudah tidak ada. Hingga shalat Jum’at dapat berlangsung dengan sempurna, walau dalam dentuman bom. Dalam perjalanan hidupnya, Habib Hadi juga pernah menderita sakit ginjal yang cukup parah, hingga tidak bisa buang air kecil. Namun beliau tidak pernah mengeluh malah mengatakan, “Alhamdulillah, tadi malam tidak bisa tidur karena sakit saya gunakan untuk ibadah.” Ketika menjalani operasi yang tergolong besar, karena batu yang dikeluarkan berjumlah sampai 73 batu. Habib Hadi menjalaninya dengan penuh ketabahan, walau tanpa dibius. “Saya tidak mau hubungan dengan Allah SWT sampai terputus,” katanya. Operasi terus berjalan, dan tasbih selalu di tangan, dzikirullah terus mengiringi operasi sampai selesai. Habib Hadi adalah sosok pribadi yang mencoba menela¬dani dan meniru cara dan tingkah Rasulullah SAW dalam segala bidang kehidupannya. Dalam berdagang, Habib Hadi dikenal al-amin, mengatakan terus terang apa adanya tentang barang dan harganya. “Ini belinya sekian, saya akan jual sekian, uangnya boleh dihutang, dan bayar setelah punya uang.” Beliau juga tahu (kasaf) bila orang tersebut sudah punya uang, saat itulah Habib Hadi menyuruh orang untuk menagihnya. Menjelang dua bulan sebelum hari wafatnya, apabila disebut nama Nabi Muhamamd SAW, beliau menangis sampai goncang seluruh tubuhnya. Ada yang bertanya pada beliau, “Kenapa kalau disebut nama Nabi Muhammad SAW, sampai seperti itu, tidak seperti biasanya.” Habib Hadi menjawab, “Hampir setiap malam saya mimpi Rasulullah SAW, namun belakangan Rasulullah SAW tidak pernah datang, apa salah saya, apa dosa saya, atau mungkin umur saya sudah dekat?” Benar, dua bulan kemudian, pada hari Kamis, 23 Pebruari 1973/4 Muharram, Habib Hadi wafat di usia 63 tahun. Waliyullah yang memiliki ilmu yang luas, berkepribadian tinggi, dan selalu rendah diri, tawadu’ pada semua orang itu telah meninggalkan kita semua dengan tersenyum. © (HABIB. M. Mahdi Hasan AL HADDAR)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Pangat